Aliran Dan Pemikiran Filsafat (Eksistensialisme Pragmatisme Dan Progresivisme)



ALIRAN DAN PEMIKIRAN FILSAFAT

( EKSISTENSIALISME PRAGMATISME DAN PROGRESIVISME )



MAKALAH
FILSAFAT ILMU


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWr. Wb.
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan beribu – ribu nikmat kepada kita umatnya. Rahmat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada jungjunan kita, pemimpin akhir zaman yang sangat dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW.
“Aliran dan Pemikiran Filsafat” ini sengaja di bahas karena sangat penting untuk kita khususnya sebagai mahasiswa yang ingin lebih mengenal mengenai aliran dan pemikiran filsafat.
Selanjutnya, penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukan – masukan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada bapak dosen dan rekan – rekan untuk memberikan sarannya kepada kami agar penyusunan makalah ini lebih baik lagi.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya semua yang membaca makalah ini.
Wassallamu’alaikum Wr. Wb.

                                                                                            Ciamis, 24 Maret 2017



                                                                                                    Kelompok 5













DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 4
1.1  Latar Belakang............................................................................... 4
1.2  Rumusan Masalah.......................................................................... 4
1.3  Tujuan............................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 5
2.1 Eksistensialisme.............................................................................. 5
A. Sejarah Berdirinya Aliran Filsafat Eksistensialisme.................... 5
B.  Makna Eksistensi........................................................................ 6
C. Ajaran Filsafat Eksistensialisme.................................................. 7
2.2 Pragmatisme.................................................................................... 10
A. Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Pragmatisme................. 10
B. Perkembangan Pragmatisme di Amerika..................................... 11
2.3 Progresivisme.................................................................................. 12
A. Pengertian Progresivisme............................................................ 12
B. Perkembangan Progresivisme...................................................... 13
C. Aliran Progresivisme dan Kurikulum.......................................... 13
2.4  Implikasi Masing – Masing Aliran Terhadap Pendidikan.............. 14
BAB III PENUTUP................................................................................... 19
3.1 Kesimpulan..................................................................................... 19
3.2 Saran............................................................................................... 20
EndNote................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 22









BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Filsafat pendidikan adalah filsafat yang diterapkan dalam dunia pendidikan. Hal ini mengandung pengertian bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil – hasil dari kerja filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai aliran,  seperti aliran eksistensialisme, pragmatisme dan progesivisme. Karena filsafat ilmu merupakan terapan dari filsafat sedangkan filsafat memiliki berbagai macam aliran maka dalam filsafat ilmu akan kita temukan juga berbagai macam aliran. Adapun aliran eksistensialisme, pragmatisme dan progresivisme dalam filsafat ilmu akan kita bahas pada makalah ini.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian aliran filsafat eksistensialisme, pragmatisme dan progesivisme ?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan masing – masing dari aliran filsafat tersebut ?
3.      Bagaimana implikasinya dalam dunia pendidikan?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari masing – masing aliran filsafat yang akan dibahas.
2.      Agar pembaca paham bagaimana perkembangan aliran – aliran filsafat yang akan dibahas.
3.      Sebagai pemberitahuan kepada pembaca bahwa filsafat juga berperan penting dalam pembentukan karakter siswa di sekolah atau tempat belajar.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Eksistensialisme
A. Sejarah Berdirinya Aliran Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir untuk menentang zamannya. Ia lahir sebagai reaksi terhadap cara berfikir yang telah ada seperti materialisme dan idealisme dan barangkali juga kekecewaan terhadap agama (Kristen). Hal ini terjadi akibat perang dunia, baik yang pertama maupun yang ke dua.
Eksistensialisme menentang ajaran materialisme setelah memperhatikan manusia sedalam – dalamnya. Materialisme mengajarkan manusia pada prinsipnya hanya benda sebagai akibat dari proses unsur – unsur kimia, manusia sama saja dengan benda lain seperti kerbau, pohon dan sebagainya. Tidak berbeda sama sekali antara keduanya sekalipun ada kelebihan manusia apabila diperhatikan bentuknya.1 Eksistensialisme terus menentang materialisme yang mengajarkan manusia pada dasarnya seperti benda lain dan menurut materialisme manusia akan kembali kepada asal dari percampuran unsur – unsur kimia dalam tanah seperti semula.
Dengan demikian, materialisme melupakan usaha atau cara manusia berada di dunia karena kenyataannya manusia berjuang menghadapi dunia. Manusia tidak semata-mata ada di dalam dunia, tetapi ia sadar, hidup dan mengalami adanya. Dunia dihadapi manusia dengan memahami arti dan guna dari semua benda sehingga ia mengerti apa yang ada di hadapannya. Manusia adalah subjek yang sadar.
Oleh karena itu, kesalahan yang ditentang oleh eksistensialisme karena materialisme memandang manusia sebagai materi semata-mata tanpa memperhatikan unsur lain. Materialisme melupakan unsur potensi batiniah, rohaniah dari manusia. Padahal manusia mempunyai kesadaran dan pikiran yang dimiliki dari asal kejadiannya.


Eksistensialisme juga menentang ajaran idealisme, sanggahan eksistensialisme terhadap idealisme bahwa idealisme memandang manusia hanya sebagai subjek dan akhirnya hanya sebagai kesadaran. Idealisme lupa bahwa manusia hanya bisa berdiri sebagai manusia karena bersatu dengan realitas di sekitarnya.2
Dengan demikian, kesalahan idealisme ialah mendudukkan manusia sebagai subjek semata-mata, sedang materialisme memandang manusia sebagai objek. Idealisme menafikan suatu kenyataan bahwa manusia hanya dapat berfungsi sebagai subjek karena ada objek dan materialisme lupa bahwa segala sesuatu menjadi objek karena ada subjek.
Dengan demikian, keduanya hanya mengutamakan satu apsek dari manusia untuk menunjukkan keseluruhan manusia itu sendiri. Materialisme mengemukakan segi jasmaniahnya saja, sedangkan idealisme memandang perwujudan manusia itu hanya sebagai yang berfikir. Untuk itu, eksistensialisme mengemukakan keber”ada”an manusia.
B.  Makna Eksistensi
Pada umumnya, kata eksistensi berarti keberadaan, tetapi di dalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda – benda. Benda – benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu berada di samping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikianlah cara manusia berada. Manusia berada bersama dengan benda-benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia. Di samping itu, manusia berada bersama – sama dengan sesama manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini, di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan bahwa benda – benda “berada” sedang manusia “bereksistensi”.3 Oleh karenanya, hanya manusialah yang bereksistensi.
Adapun kata eksistensi adalah berasal dari kata “ex” berarti keluar, dan “sistensi” yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu, kata eksistensi diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri, dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada.4
Ini berarti bahwa eksistensi bermakna manusia itu mengalami dirinya sendiri dengan mengalami barang lain, barulah bereksistensi. Dalam hal ini, ada hubungan permanen dan ketat antara subjek dengan objek. Manusia tidak memisahkan diri dari dunia luar karena ada dunia luar, maka subjek berbuat, memberi arti sehingga objek dapat berarti karena dimengerti oleh subjek. Oleh karena dunia luar itulah, maka manusia berbuat ini dan itu, kemudian orang lain mengetahuinya. Kata Drijarkara berada dengan menempat sama dengan berada ke luar dari dirinya sendiri, maka manusia menduduki diri sendiri dan berada dalam dirinya sendiri sebab dia berkata “Aku”. Dia mengalami diri sendiri dan sebagai diri sendiri.5 Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menggunakan benda – benda yang ada di sekitarnya. Dengan kesibukannya itu, ia menemukan dirinya sendiri. Demikianlah ia bereksistensi.
C. Ajaran Filsafat Eksistensialisme
Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang menjelma dalam bermacam – macam sistem yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian, sistem – sistem itu dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme.
Beberapa ciri yang dimiliki bersama di antaranya adalah:
1.      Motif pokok adalah eksistensi yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat pernatian adalah pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis.
2.      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan. Setiap saat, manusia menjadi lebih atau kurang dari dirinya.
3.      Filsafat eksistensialisme memandang manusia sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai dan masih harus dibentuk. Pada hakikatnya, manusia terikat kepada dunia sekitarnya.
4.      Tekanan filsafat eksistensialisme adalah kepada pengalaman yang kongkret, yakni pengalaman yang eksistensial.6
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pangkal tolak filsafat eksistensialisme ialah eksistensi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi merupakan peristiwa yang azasi. Manusia menjadi sadar agar bisa berbuat, dan berbuat bertujuan dalam berbuat dia menyempurnakan dirinya. Adapun mazhab atau aliran di dalam filsafat eksistensialisme adalah:
1.      Eksistensialisme Teistis
Eksistensialisme teistis diwakili oleh Soren Kierkegaard (1813-1855). Seorang tokoh yang dianggap sebagai Bapak eksistensialisme. Ia berasal dari Denmark. Ajarannya mengandung harapan (optimistis) untuk hidup di dunia ini. Ia percaya bahwa ada cahaya dalam kegelapan. Ia juga berpendapat bahwa eksistensi manusia ialah manusia merasa bersalah terhadap Tuhan.7 Adapun eksistensialisme manusia adalah hidup, ketakutan, harapan, putus asa dan mati, yang kesemuanya itu menjadi pemikiran Kierkegaard.8 Akan tetapi, dalam situasi demikian, percaya kepada Tuhan dapat menolong mengatasi ketakutan dan putus asa yang disebabkan oleh kedosaan. Di samping adanya kepercayaan demikian harus pula disertai segala kesungguhan sebagai eksistensi yang harus menghadapi realitas. Manusia harus berbuat, bertindak dan bereksistensi demi kebebasan dalam keterbatasan dengan adanya mati. Kierkegaard berpendapat pula bahwa hanya manusia yang bereksistensi; yang bereksistensi setiap saat. Bereksistensi ialah bertindak.9
Manusia bukan saja individu di hadapan dirinya, tetapi juga individu di hadapan Tuhan.10 Dari ajaran tersebut sehingga dikatakan bahwa Kierkegaard memandang manusia dalam gerak vertikal yang pada akhirnya ke Tuhan.11
Kierkegaard mengemukakan pula tentang stadium hidup manusia yang dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stadium estetis, etis, dan religius.
a.       Stadium estetis ialah orang yang berpikir tanpa gerak. Ia dapat memikirkan segala sesuatu, tapi ia sendiri ada di luar yang dipikirkan itu. Ia tidak menyelaminya malahan tidak menyentuhnya, artinya hanya berpikir untuk berpikir. Kierkegaard benci terhadap eksistensi yang sekadar terletak pada taraf estetis.
b.      Stadium etis ialah orang berpikir memusatkan ke dalam dirinya, tak ada soal lain baginya daripada kesalahan atau kedosaannya sendiri. Kesungguhan dipandangnya sebagai hal yang tidak menyenangkan, melainkan sebagai batin sendiri yang harus diubahnya. Renungannya berpuncak pada tindakan etis, tapi tidak memperlakukan diri sendiri untuk diubah. Dalam stadium ini, orang belum meninggalkan yang umum karena ia mencari ukuran tingkah laku yang umum.
c.       Stadium religius. Pada stadium ketiga ini diputuskanlah segala ikatan umum. Muncul manusia sebagai subjek yang individual dalam hubungannya dengan yang kongkret yaitu Tuhan yang kongkret dan sungguh ada. Minatnya tidak lagi pada diri sendiri, tapi pada Tuhan. Tuhan yang hidup sebagai manusia dalam waktu, tapi berhubungan juga dengan keabadian. Adapun hasilnya ialah perubahan manusia karena imannya. Di situlah ia mengetahui eksistensinya.12
2.      Eksistensialisme Ateistis
Jean Paul Sartre dianggap sebagai tokoh eksistensialisme ateistis. Ia seorang filsuf Perancis yang lahir pada tahun 1905. Azas pertama ajarannya ialah eksistensi adalah keterbukaan. Manusia tidak lain cara ia menjadikan dirinya. Ini berarti manusia harus dihadapi sebagai subjek, artinya manusia tidak akan selesai dengan ikhtiarnya. Manusia tidak lain adalah tindakannya sendiri.
Menurut Sartre, apapun eksistensi manusia, ia sendiri yang bertanggung jawab karena ia dapat memilih yang baik dan yang kurang baik baginya. Oleh sebab itu, ia tidak dapat mempermasalahkan orang lain, apalagi akan menggantungkan diri kepada Tuhan.13 Pertanggungjawaban tersebut didasarkan atas suatu perhitungan bahwa apa yang dilakukan manusia akan diperbuat pula oleh orang lain. Perbuatan manusia yang telah dipertimbangkan masak – masak merupakan gambaran manusia yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat digambarkan betapa besar beban manusia terhadap seluruh manusia pada umumnya.
Sartre memandang bahwa apa saja yang dibuat manusia mempunyai tujuan dan arti tertentu. Manusia hidup dalam buatan manusia sendiri. Manusia menjalankan eksistensi manusia dalam alam buatan manusia sendiri. Manusia dapat menembus konstruksi dan mendobrak alam konstruksi. Ia berpandangan bahwa dalam hidup ini tidak ada norma, semua serba tidak menentu. Oleh karena itu, manusia mengalami kesepian yang dapat membawa kepada keputusasaan.14
Sartre mengajarkan pula tentang kesadaran. Sadar, berarti sadar terhadap sesuatu, sesuatu di luar dirinya. Di sini berarti antara bahwa diri seseorang dengan sesuatu yang lain, ada hubungan dan ada komunikasi. Pendapat Sartre lebih lanjut bahwa adanya hubungan dengan sesuatu yang di luar, berarti meniadakan sesuatu. Maknanya, orang yang sadar tidak identik dengan dirinya sendiri, dia bukanlah ia.
Dia yang sadar tentang dirinya selalu berbuat terus untuk mengubah dirinya. Dia selalu dalam peralihan dan peniadaan itu berjalan terus-menerus.15
 Ajaran sentral Sartre ialah kemerdekaan karena kemerdekaan itu sendiri milik manusia yang azasi. Tanpa kemerdekaan, manusia tidak ada artinya lagi. Hal itu menurut Sartre tidak ada determinasi. Sekalipun orang dipaksa, didorong atau ditarik umpamanya, manusia tetap mempunyai sikap, mau atau tidak mau, maka kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya tetap ada.
Manusia mempunyai kemerdekaan untuk bertindak dan berbuat. Kemerdekaan adalah mutlak. Kemerdekaan tidak dapat disempitkan maknanya bagi manusia, sekalipun maut merupakan batas dari kebebasan. Menurut Sartre, batas itu di luar eksistensi manusia. Maut tidak mempunyai arti apa-apa dalam hubungannya dengan eksistensi manusia.16
2.2 Pragmatisme
A. Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Pragmatisme
Istilah Pragmatisme  berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Yaitu aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat – akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu – individu.

B. Perkembangan Pragmatisme di Amerika
Pragmatisme di Amerika secara garis besar berkembang melalui tiga tokoh besarnya yaitu :
1.      Charles Sandre Peirce (1839-1914 M)
Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika dan bukan teori kebenaran melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah. Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
2.       William James (1842-1910 M)
William selain menamakan filsafatnya dengan “pragmatisme”, ia juga menamainya “empirisme radikal”. Sedangkan empirisme radikal adalah suatu aliran yang harus tidak menerima suatu unsur alam bentuk apa pun yang tidak dialami secara langsung. Dalam bukunya The Meaning of The Truth, James mengemukakan tidak ada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal, melainkan yang ada hanya kebenaran-kebenaran ‘plural’. Yang dimaksud kebenaran-kebenaran plural adalah apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
3.      John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis dan tidak ada faedahnya.
Secara teoretis, gerakan pragmatisme berawal dari upaya formulasi yang dilakukan oleh Charles Sanders Peirce meskipun kemudian pragmatisme dikembangkan oleh William James. Secara metodologis, pragmatisme akhirnya berhasil diserap oleh bidang-bidang kehidupan sehari-hari Amerika Serikat berkat kerja keras John Dewey. Dewey memusatkan perhatiaanya pada masalah-masalah yang menyangkut etika, pemikiran sosial dan pendidikan. Memang ada begitu banyak pandangan-pandangan para filsuf yang berhubungan dengan bidang pragmatisme ini, akan tetapi ketiga tokoh di atas yang populer dan banyak dibicarakan dalam pengembangan pragmatisme. Peirce dipandang sebagai penggagas pragmatisme, James sebagai pengembangnya dan Dewey sebagai orang yang menerapkan pragmatisme dalam pelbagai bidang kehidupan. [1]7
2.3 Progresivisme
A. Pengertian Progresivisme
Progresivisme menurut bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan kemajuan – kemajuan secara cepat. Dalam konteks filsafat pendidikan progresivisme adalah suatu aliran yang menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berfikir mereka sedemikian rupa, sehingga mereka dapat berfikir secara sistematis melalui care-care ihniah seperti memberikan analisis, pertimbangan, dan perbuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi.18
Progresivisme yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan-kesanggupan untuk mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi rahasia – rahasia alam, sanggup menguasai alam. Namur disamping keyakinan-keyakinan tersebut ada juga kesangian dimana apakah manusia itu sendiri mampu belajar bagaimana mempergunakan kesanggupan itu, tetapi meskipun demikian progresivisme tetap bersikap optimis, tetap percaya bahwa manusia dapat menguasai seluruh lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.19
B. Perkembangan Progresivisme
Aliran ini muncul dan berkembang pada permulaan abad XX terutama di Amerika Serikat. Progresivisme lahir sebagai pembaharuan dalam dunia filsafat pendidikan terutama sebagai lawan terhadap kebijakan – kebijakan konvensional yang diwarisi dari abad XIX.
Disamping itu, ada pula pengaruh kebudayaan yang secara khusus ditulis oleh Brameld sebagai faktor kebudayaan yang berpengaruh atas perkembangan progresivisme, yaitu antara lain :
1.      Revolusi industri
2.      Modern Science
3.      Perkembangan demokrasi
Aliran Progresivisme biasanya dihubungkan dengan pandangan hidup yang mempunyai sifat – sifat sebagai berikut :
“Fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), curious (ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati terbuka).20
C. Aliran Progresivisme dan Kurikulum
Ada lima aspek kurikulum dalam aliran Progresivisme, yaitu:
1.      Reorganisasi di dalam suatu subyek khusus sebagai langkah pertama mencari pola dan design yang baru.
2.      Korelasi antara dua atau lebih subject-matter, misalnya antara bahasa nasional dengan social-studies.
3.      Pengelompokan dan hubungan integratif dalam satu bidang pengetahuan, misalnya: “pendidikan umum” dalam ilmu pengetahuan alam dan arts.
4.      “Core-curriculum” suatu kelompok mata pelajaran yang memberi pengalaman dasar dan sebagai kebutuhan umum yang utama.
5.      “Experience-centered curriculum” yakni kurikulum yang mengutamakan pengalaman dengan menekankan pada unit – unit tertentu.22
2.4  Implikasi Masing – Masing Aliran Terhadap Pendidikan
A.    Aliran Eksistensialisme (Relevansi dengan Tujuan Pendidikan di Indonesia )
Berbicara tujuan pendidikan di Indonesia, maka tidak bisa lepas dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pada Bab II pasal 3 yang menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.23
Berdasarkan tujuan pendidikan di Indonesia tersebut, maka relevansi ajaran pokok filsafat eksistensialisme dengan tujuan pendidikan di Indonesia adalah terletak pada nilai dasar eksistensialisme untuk membina kawasan afektif dengan unsur-unsurnya yang pada gilirannya dapat mewujudkan perilaku, yang mencerminkan tergambarnya kepribadian yang utuh. Hal itu dapat dijelaskan sebagai:
1)    Ajaran eksitensialisme tentang keber”ada”an manusia berarti memandang manusia secara utuh, baik aspek jasmani maupun dataran rohani yang bukan saja aspek pikir, tapi juga berkesadaran. Hal ini dapat sebagai jalan untuk mengantarkan pemikiran dan praksis pendidikan untuk menuju terwujudnya kepribadian yang utuh, yakni sebagai manusia yang tepat dalam menentukan minat, sikap, dan apresiasi terhadap nilai-nilai, dan norma kehidupan.
2)    Ajaran eksistensialisme tentang makna bereksistensi bahwa bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan. Hal ini dapat mendorong ke arah pemikiran dan praksis pendidikan untuk mengantarkan anak didik memiliki sikap disiplin, bertanggung jawab, dan beretos kerja. Pada gilirannya hal itu dapat untuk mewujudkan gambaran manusia yang cerdas, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kepribadian yang mantap.
3)    Ajaran filsafat eksistensialisme teistis tentang stadium religius bahwa manusia sebagai subjek yang individual dalam hubungannya dengan Tuhan. Hasilnya ialah perubahan manusia karena imannya. Hal ini dapat mendorong ke arah pemikiran dan praksis pendidikan guna mengarahkan anak didik memiliki sikap atau kepribadian amanah (dapat dipercaya), pegang janji, kearifan, dan kemandirian. Pendidikan ini pada gilirannya dapat mewujudkan gambaran manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur dalam arti yang sebenarnya, maksudnya beriman dan berbudi pekerti luhur yang dilandasi oleh keikhlasan bukan karena ada udang di balik batu.
Adapun ajaran filsafat eksistensialisme ateistis dari tokoh Sartre mengenai azas eksistensi tentang keterbukaan, kesadaran, dan kemerdekaan tak ada batas; tak ada norma. Hal ini justru anarkhi dan oportunis karena bertentangan dengan tujuan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, cukuplah di sini dikatakan bahwa dari seorang filsuf atau dari ajaran filsafat, yang tidak bisa kita setujui, dan kita bisa belajar banyak.
B.     Aliran Pragmatisme (Implikasi Pragmatisme Jhon Dewey terhadap Pendidikan )
Dewey secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sistem pendidikan. Jadi menurut Dewey  pendidikan harus bersifat partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru. Tanpa mengetahui apakah yang diikutinya baik atau buruk. Dalam pendidikan partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai tenaga fasilitator sedangkan keaktivan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreatifitas. Dengan cara melibatkan siswa secara langsung ke dalam proses belajar. Sehingga nantinya peserta didik dapat secara mandiri mencari problem solving dari masalah yang ia hadapi.24
Dewey meyakini bahwa pusat dari kurikulum seharusnya mencakup pengalaman peserta didik. Jika kurikulum menjadi tujuan pendidikan, itu berarti peserta didik berhenti berpikir, berhenti merenungkan pengalamannya, dan pada akhirnya kematian masyarakat itu sendiri. Pendidikan harus membawa konsep mengenai perubahan dan perkembangan masyarakat. Kurikulum harus mengabdi kepada peserta didik sehingga dengan bantuan kurikulum peserta didik dapat merealisasikan dirinya, mewujudkan bakat-bakat, nilai, sikap untuk hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, apa yang tersaji dalam kurikulum adalah interaksi antar peserta didik serta interaksi guru dan murid. Bukan relasi menguasai ataupun relasi subjek-objek di mana peserta didik adalah pihak yang harus menerima tanpa bertanya. Interaksi ini bukan hanya persoalan interaksi fisik, tapi juga bersifat sosiologis. Artinya, nilai, tujuan, sikap, makna telah termasuk di dalamnya. Seringkali, hal-hal demikian disebut sebagai kurikulum tersembunyi.
Melalui penelitiannya terhadap pendidikan, Dewey melihat sekolah dan kurikulumnya memisahkan aspek-aspek pengalaman peserta didik menjadi apa yang disebutnya spesialisasi. Bagi Dewey, dengan pemisahan demikian peserta didik seolah-olah dapat menjawab seluruh permasalahan. Dewey justru berpandangan sebaliknya. Pemisahan ini akan membawa masalah serius di tataran praktis. Pengalaman si peserta didik dikoyakkan dan diatur menurut sebuah prinsip tertentu. Dewey menyebutkan 3 akibat dari hal ini. Pertama, dunia pribadi peserta didik berhadapan dengan dunia impersonal yang sempit namun karena ditata berdasarkan prinsip tertentu, peserta didik seolah berhadapan dengan semua persoalannya. Kedua, keterpisahan integralitas hidup peserta didik dan adanya spesialisasi dan pembagian dalam kurikulum. Ketiga, prinsip klasifikasi yang logis berhadapan dengan ikatan yang utuh dari hidup peserta didik. Ketiga hal ini mau mengatakan bahwa peserta didik dan kurikulum seperti dua aspek yang sangat berbeda.
Tapi, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mengapa kurikulum tetap diperlukan dalam pendidikan formal? Kurikulum tetap diperlukan lantaran kurikulum adalah mediasi dalam pendidikan formal. Kurikulum bukanlah pengganti pengalaman peserta didik. Kurikulum adalah sebuah peta yang mengarahkan peserta didik mencari jati dirinya.25
C.     Aliran Progresivisme ( Prinsip – prinsip pendidikan menurut aliran Progresivisme )
Prinsip – prinsip pendidikan yang didasarkan pada aliran progresivisme antara lain :
1)      Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang intelegen yaitu kehidupan yang mencakup interpretasi dan rekonstruksi pengalaman. Tidak ada tujuan pendidikan umum atau akhir pendidikan. Pendidikan adalah pertumbuhan untuk menghasilkan pertumbuhan berikutnya.
2)      Pendidikan harus berhubungan secara langsung dengan minat anak yang dijadikan sebagai dasar motivasi belajar, sekolah menjadi child centered dimana proses belajar ditentukan terutama oleh anak.
3)      Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi preseden pemberian subjek materi. Jadi belajar harus dapat memecahkan masalah yang penting dan bermanfaat bagi kehidupan anak.
4)      Peranan guru tidak langsung, melainkan memberikan petunjuk kepada peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kebebasan merencanakan perkembangan diri mereka, dan pendidik hendaknya membimbing kegiatan mereka.
5)      Sekolah harus memberikan semangat untuk bekerja sama, bukan mengembangkan persaingan. Progresif berpandangan bahwa kasih sayang dan persaudaraan lebih berharga bagi kehidupan dari pada persaingan dan usaha pribadi.
6)      Kehidupan yang demokratis merupakan kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan. Demokrasi, pertumbuhan, dan pendidikan saling berhubungan. Untuk mengajar demokrasi, sekolah itu sendiri harus demokratis.26
Para pendidik aliran ini sangat menentang praktik sekolah tradisional, khususnya dalam lima hal: 1. guru yang otoriter, 2. terlampau mengandalkan metode berbasis buku teks, 3. pembelajaran pasif dengan mengingat fakta, 4. filsafat empat tembok, yakni terisolasinya pendidikan dari kehidupan nyata, dan 5. penggunaan rasa takut atau hukuman badan sebagai alat untuk menanamkan disiplin pada siswa.27































BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
Filsafat eksistensialisme bersifat individualistis sebagai paham yang mendorong manusia untuk berbuat dan berbuat terus memperbarui dirinya dengan bertitik tolak dari individu masing-masing apapun keadaannya.
Filsafat eksistensialisme memberikan modal kekuatan dan keberanian dengan tidak perlu mencemaskan kelemahannya sebagai manusia.
Mazhab filsafat eksistensialisme teistis lebih berbobot daripada mazhab ateistis, karena mazhab teistis mengandung pengertian adanya pengakuan di luar subjek yang dapat merupakan penggerak dalam usaha manusia bereksistensi.
Terdapat relevansi atau signifikansi antara ajaran filsafat eksistensialisme teistis dengan tujuanpendidikan di Indonesia terlebih dalam mendorong terwujudnya tujuan pendidikan di ranah afektif yang selama ini nampak terabaikan.
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis.
Pragmatisme di Amerika berkembang melalui tiga tokohnya, yaitu Charles Sandre Peirce,  William James, John Dewey. Peirce dipandang sebagai penggagas pragmatisme, James sebagai pengembangnya dan Dewey sebagai orang yang menerapkan pragmatisme dalam pelbagai bidang kehidupan.
Dewey secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sestem pendidikan. Tak lepas dari kritikannya juga yakni sistem kurikulum yang hanya ditentukan dari atas tanpa memperhatikan masukkan-masukkan dari bawah.
Aliran Progresivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang memandang bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan masalah. Pendidikan menurut aliran ini adalah pendidikan yang membina dan mengembangkan minat belajar yang mencakup seluruh pengalaman


sosial anak maupun orang dewasa. Aliran ini tidak menghendaki pendidikan yang otoriter dan absolut dalam segala bentuk seperti yang terdapat dalam agama, moral, dan ilmu pengetahuan.
3.2  SARAN
Makalah ini dibuat oleh penulis dengan segala kemampuan dan keterbatasan, maka dari itu, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan – kekurangan sehingga untuk mencapai kesempurnaan itu diharapkan agar pembaca dapat memberi saran dan kritik untuk membangun dan lebih sempurnanya makalah ini.
Dengan sepenuh hati, penulis memohon kepada Allah semoga makalah ini bisa bermanfaat buat sang pembaca serta penulis bahkan kepada khalayak umum.aamiin.
Akhirnya saya ucapkan terima kasih banyak atas saran dan kritikannya, semoga makalah ini bisa bermanfaat. Aamiin ya robbal ‘alamin.
EndNote
1Drijarkara, Percikan, Filsafat (Jakarta: Pembangunan, 1978),hal. 56.
2Ibid, hal. 60.
3Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal. 148.
4Ibid,hal. 148.
5Drijarkara, Percikan, hal. 62.
6Harun Hadiwijono, Sari Sejarah, hal. 149
7Poedjawijatna, Pembimbing, ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal.145.
8Drijarkara, Percikan, hal. 67.
9Bertens, K. Ringkasan, hal. 83.
10 Ibid,hal. 84.
11Drijarkara, Percikan, hal. 67.
12 Ibid,hal. 68
13Fuad Hasan, Perkenalan dengan Existensialisme(Jakarta: Pustaka Jaya, 1983),hal. 93.
14Drijarkara, Percikan, hal. 72.
15Ibid, hal. 78.
16Ibid, hal. 79.
17Fu’ad farid isma’il & abdul hamid mutawalli, Cara Mudah Belajar FIlsafat, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2012), hlm 128.
18Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan Islam. ( Pekanbaru: LSFK2P.2005), hal. 161-162
19Zuhairi dkk. Filsafat Pendidikan Islam. ( Bumi Aksara. Jakarta : 2008 ) hal.20-21
20Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hal. 46-47.
22 Mohammad Nor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsfat Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hal. 254
23Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2003), hal. 7.
24 Muis Sad Iman, M.Ag. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, (Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII, 2004), hlm. 3
25 http://michelaurel.wordpress.com/2012/09/08/pendidikan-menurut-john-dewey/,  di unduh pada 14 oktober 2013, pukul 13.08.
26Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hal. 48-50.
27Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 105.








































DAFTAR PUSTAKA

Drijarkara. 1978. Percikan Filsafat. Jakarta: Pembangunan.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Yogyakarta: Kanisius.
Poedjawijatna, 1990. Pembimbing ke ArahAlam Filsafat.Jakarta: Rineka Cipta
Bertens K. 1993. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Hasan, Fuad. 1983. Perkenalan dengan Existensialisme.Jakarta: Pustaka Jaya.
Isma’il, Fu’ad farid dan Abdul hamid mutawalli, 2012, Cara Mudah Belajar FIlsafat, Yogyakarta : IRCiSoD
Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Khobir, Abdul. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Syam, Mohammad Nor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsfat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Undang-Undang Sisitem Pendidikan Nasional.2003. Bandung: Citra Umbara.
Iman, Muis Sad, 2004, Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII
http://michelaurel.wordpress.com/2012/09/08/pendidikan-menurut-john-dewey/,  di unduh pada 14 oktober 2013, pukul 13.08.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah apbn dan apbd

BUDAYA DEMOKRASI MENUJU MASYARAKAT MADANI