Aliran Dan Pemikiran Filsafat (Eksistensialisme Pragmatisme Dan Progresivisme)
ALIRAN DAN PEMIKIRAN FILSAFAT
( EKSISTENSIALISME PRAGMATISME DAN PROGRESIVISME )
MAKALAH
FILSAFAT ILMU
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr.
Wb.
Puji
dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan
beribu – ribu nikmat kepada kita umatnya. Rahmat beserta salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada jungjunan kita, pemimpin akhir zaman yang sangat
dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW.
“Aliran
dan Pemikiran Filsafat” ini sengaja di bahas karena sangat penting untuk kita
khususnya sebagai mahasiswa yang ingin lebih mengenal mengenai aliran dan
pemikiran filsafat.
Selanjutnya,
penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukan
– masukan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tidak lupa juga kepada bapak dosen dan rekan – rekan untuk memberikan sarannya
kepada kami agar penyusunan makalah ini lebih baik lagi.
Demikian,
semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya semua yang
membaca makalah ini.
Wassallamu’alaikum
Wr. Wb.
Ciamis,
24 Maret 2017
Kelompok 5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 4
1.1
Latar
Belakang............................................................................... 4
1.2
Rumusan
Masalah.......................................................................... 4
1.3
Tujuan............................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 5
2.1 Eksistensialisme.............................................................................. 5
A. Sejarah
Berdirinya Aliran Filsafat Eksistensialisme.................... 5
B. Makna Eksistensi........................................................................ 6
C.
Ajaran Filsafat Eksistensialisme.................................................. 7
2.2 Pragmatisme.................................................................................... 10
A. Pengertian dan Latar
Belakang Sejarah Pragmatisme................. 10
B. Perkembangan
Pragmatisme di Amerika..................................... 11
2.3 Progresivisme.................................................................................. 12
A. Pengertian Progresivisme............................................................ 12
B. Perkembangan
Progresivisme...................................................... 13
C. Aliran Progresivisme
dan Kurikulum.......................................... 13
2.4 Implikasi Masing – Masing Aliran Terhadap Pendidikan.............. 14
BAB III PENUTUP................................................................................... 19
3.1 Kesimpulan..................................................................................... 19
3.2 Saran............................................................................................... 20
EndNote................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang diterapkan
dalam dunia pendidikan. Hal ini mengandung pengertian bahwa filsafat pendidikan
pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil –
hasil dari kerja filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang
realitas, pengetahuan dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai aliran, seperti
aliran eksistensialisme, pragmatisme dan progesivisme. Karena filsafat ilmu merupakan
terapan dari filsafat sedangkan filsafat memiliki berbagai macam aliran maka
dalam filsafat ilmu akan kita temukan juga berbagai macam aliran. Adapun aliran
eksistensialisme, pragmatisme dan progresivisme dalam filsafat ilmu akan kita
bahas pada makalah ini.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian aliran filsafat
eksistensialisme, pragmatisme dan progesivisme ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan masing –
masing dari aliran filsafat tersebut ?
3. Bagaimana implikasinya dalam dunia
pendidikan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian
dari masing – masing aliran filsafat yang akan dibahas.
2. Agar pembaca paham bagaimana perkembangan
aliran – aliran filsafat yang akan dibahas.
3. Sebagai pemberitahuan kepada pembaca bahwa
filsafat juga berperan penting dalam pembentukan karakter siswa di sekolah atau
tempat belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Eksistensialisme
A. Sejarah Berdirinya Aliran Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan suatu aliran
filsafat yang lahir untuk menentang zamannya. Ia lahir sebagai reaksi terhadap
cara berfikir yang telah ada seperti materialisme dan idealisme dan barangkali juga
kekecewaan terhadap agama (Kristen). Hal ini terjadi akibat perang dunia, baik
yang pertama maupun yang ke dua.
Eksistensialisme menentang ajaran
materialisme setelah memperhatikan manusia sedalam – dalamnya. Materialisme
mengajarkan manusia pada prinsipnya hanya benda sebagai akibat dari proses unsur
– unsur kimia, manusia sama saja dengan benda lain seperti kerbau, pohon dan
sebagainya. Tidak berbeda sama sekali antara keduanya sekalipun ada kelebihan
manusia apabila diperhatikan bentuknya.1 Eksistensialisme terus
menentang materialisme yang mengajarkan manusia pada dasarnya seperti benda
lain dan menurut materialisme manusia akan kembali kepada asal dari percampuran
unsur – unsur kimia dalam tanah seperti semula.
Dengan demikian, materialisme
melupakan usaha atau cara manusia berada di dunia karena kenyataannya manusia
berjuang menghadapi dunia. Manusia tidak semata-mata ada di dalam dunia, tetapi
ia sadar, hidup dan mengalami adanya. Dunia dihadapi manusia dengan memahami
arti dan guna dari semua benda sehingga ia mengerti apa yang ada di hadapannya.
Manusia adalah subjek yang sadar.
Oleh karena itu, kesalahan yang
ditentang oleh eksistensialisme karena materialisme memandang manusia sebagai
materi semata-mata tanpa memperhatikan unsur lain. Materialisme melupakan unsur
potensi batiniah, rohaniah dari manusia. Padahal manusia mempunyai kesadaran
dan pikiran yang dimiliki dari asal kejadiannya.
Eksistensialisme juga menentang
ajaran idealisme, sanggahan eksistensialisme terhadap idealisme bahwa idealisme
memandang manusia hanya sebagai subjek dan akhirnya hanya sebagai kesadaran. Idealisme
lupa bahwa manusia hanya bisa berdiri sebagai manusia karena bersatu dengan
realitas di sekitarnya.2
Dengan demikian, kesalahan idealisme
ialah mendudukkan manusia sebagai subjek semata-mata, sedang materialisme
memandang manusia sebagai objek. Idealisme menafikan suatu kenyataan bahwa manusia
hanya dapat berfungsi sebagai subjek karena ada objek dan materialisme lupa
bahwa segala sesuatu menjadi objek karena ada subjek.
Dengan demikian, keduanya hanya
mengutamakan satu apsek dari manusia untuk menunjukkan keseluruhan manusia itu
sendiri. Materialisme mengemukakan segi jasmaniahnya saja, sedangkan idealisme
memandang perwujudan manusia itu hanya sebagai yang berfikir. Untuk itu,
eksistensialisme mengemukakan keber”ada”an manusia.
B. Makna Eksistensi
Pada umumnya, kata eksistensi
berarti keberadaan, tetapi di dalam filsafat eksistensialisme ungkapan
eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di
dalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda
– benda. Benda – benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu berada di
samping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikianlah cara manusia berada.
Manusia berada bersama dengan benda-benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti
karena manusia. Di samping itu, manusia berada bersama – sama dengan sesama
manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini, di dalam filsafat
eksistensialisme dikatakan bahwa benda – benda “berada” sedang manusia
“bereksistensi”.3 Oleh karenanya, hanya manusialah yang
bereksistensi.
Adapun kata eksistensi adalah
berasal dari kata “ex” berarti keluar, dan “sistensi” yang diturunkan
dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu, kata
eksistensi diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri, dengan keluar dari
dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada.4
Ini berarti bahwa eksistensi bermakna
manusia itu mengalami dirinya sendiri dengan mengalami barang lain, barulah
bereksistensi. Dalam hal ini, ada hubungan permanen dan ketat antara subjek dengan
objek. Manusia tidak memisahkan diri dari dunia luar karena ada dunia luar,
maka subjek berbuat, memberi arti sehingga objek dapat berarti karena
dimengerti oleh subjek. Oleh karena dunia luar itulah, maka manusia berbuat ini
dan itu, kemudian orang lain mengetahuinya. Kata Drijarkara berada dengan
menempat sama dengan berada ke luar dari dirinya sendiri, maka manusia
menduduki diri sendiri dan berada dalam dirinya sendiri sebab dia berkata
“Aku”. Dia mengalami diri sendiri dan sebagai diri sendiri.5 Ia
mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menggunakan benda – benda yang ada di
sekitarnya. Dengan kesibukannya itu, ia menemukan dirinya sendiri. Demikianlah
ia bereksistensi.
C. Ajaran
Filsafat Eksistensialisme
Ajaran
eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu
aliran filsafat yang bersifat teknis, yang menjelma dalam bermacam – macam
sistem yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian, sistem – sistem itu
dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme.
Beberapa ciri yang dimiliki bersama di
antaranya adalah:
1.
Motif pokok adalah eksistensi yaitu cara manusia berada.
Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat pernatian adalah pada manusia. Oleh
karena itu, bersifat humanistis.
2.
Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi
berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
Setiap saat, manusia menjadi lebih atau kurang dari dirinya.
3.
Filsafat eksistensialisme memandang manusia sebagai terbuka.
Manusia adalah realitas yang belum selesai dan masih harus dibentuk. Pada
hakikatnya, manusia terikat kepada dunia sekitarnya.
4.
Tekanan filsafat eksistensialisme adalah kepada pengalaman yang
kongkret, yakni pengalaman yang eksistensial.6
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa pangkal tolak filsafat eksistensialisme ialah
eksistensi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi merupakan peristiwa
yang azasi. Manusia menjadi sadar agar bisa berbuat, dan berbuat bertujuan
dalam berbuat dia menyempurnakan dirinya. Adapun mazhab atau aliran di dalam
filsafat eksistensialisme adalah:
1.
Eksistensialisme
Teistis
Eksistensialisme
teistis diwakili oleh Soren Kierkegaard (1813-1855). Seorang tokoh yang
dianggap sebagai Bapak eksistensialisme. Ia berasal dari Denmark. Ajarannya
mengandung harapan (optimistis) untuk hidup di dunia ini. Ia percaya bahwa ada
cahaya dalam kegelapan. Ia juga berpendapat bahwa eksistensi manusia ialah
manusia merasa bersalah terhadap Tuhan.7 Adapun eksistensialisme
manusia adalah hidup, ketakutan, harapan, putus asa dan mati, yang kesemuanya
itu menjadi pemikiran Kierkegaard.8 Akan tetapi, dalam situasi
demikian, percaya kepada Tuhan dapat menolong mengatasi ketakutan dan putus asa
yang disebabkan oleh kedosaan. Di samping adanya kepercayaan demikian harus
pula disertai segala kesungguhan sebagai eksistensi yang harus menghadapi
realitas. Manusia harus berbuat, bertindak dan bereksistensi demi kebebasan
dalam keterbatasan dengan adanya mati. Kierkegaard berpendapat pula bahwa hanya
manusia yang bereksistensi; yang bereksistensi setiap saat. Bereksistensi ialah
bertindak.9
Manusia
bukan saja individu di hadapan dirinya, tetapi juga individu di hadapan Tuhan.10
Dari ajaran tersebut sehingga dikatakan bahwa Kierkegaard memandang
manusia dalam gerak vertikal yang pada akhirnya ke Tuhan.11
Kierkegaard mengemukakan pula tentang
stadium hidup manusia yang dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stadium estetis,
etis, dan religius.
a.
Stadium estetis ialah orang yang berpikir tanpa gerak. Ia
dapat memikirkan segala sesuatu, tapi ia sendiri ada di luar yang dipikirkan
itu. Ia tidak menyelaminya malahan tidak menyentuhnya, artinya hanya berpikir
untuk berpikir. Kierkegaard benci terhadap eksistensi yang sekadar terletak pada
taraf estetis.
b.
Stadium etis ialah orang berpikir memusatkan ke dalam
dirinya, tak ada soal lain baginya daripada kesalahan atau kedosaannya sendiri.
Kesungguhan dipandangnya sebagai hal yang tidak menyenangkan, melainkan sebagai
batin sendiri yang harus diubahnya. Renungannya berpuncak pada tindakan etis,
tapi tidak memperlakukan diri sendiri untuk diubah. Dalam stadium ini, orang
belum meninggalkan yang umum karena ia mencari ukuran tingkah laku yang umum.
c.
Stadium religius. Pada stadium ketiga ini diputuskanlah
segala ikatan umum. Muncul manusia sebagai subjek yang individual dalam
hubungannya dengan yang kongkret yaitu Tuhan yang kongkret dan sungguh ada.
Minatnya tidak lagi pada diri sendiri, tapi pada Tuhan. Tuhan yang hidup
sebagai manusia dalam waktu, tapi berhubungan juga dengan keabadian. Adapun
hasilnya ialah perubahan manusia karena imannya. Di situlah ia mengetahui
eksistensinya.12
2.
Eksistensialisme
Ateistis
Jean Paul Sartre dianggap sebagai
tokoh eksistensialisme ateistis. Ia seorang filsuf Perancis yang lahir pada
tahun 1905. Azas pertama ajarannya ialah eksistensi adalah keterbukaan. Manusia
tidak lain cara ia menjadikan dirinya. Ini berarti manusia harus dihadapi
sebagai subjek, artinya manusia tidak akan selesai dengan ikhtiarnya. Manusia tidak
lain adalah tindakannya sendiri.
Menurut Sartre, apapun eksistensi
manusia, ia sendiri yang bertanggung jawab karena ia dapat memilih yang baik
dan yang kurang baik baginya. Oleh sebab itu, ia tidak dapat mempermasalahkan
orang lain, apalagi akan menggantungkan diri kepada Tuhan.13
Pertanggungjawaban tersebut didasarkan atas suatu perhitungan bahwa apa yang
dilakukan manusia akan diperbuat pula oleh orang lain. Perbuatan manusia yang
telah dipertimbangkan masak – masak merupakan gambaran manusia yang sebenarnya.
Dengan demikian, dapat digambarkan betapa besar beban manusia terhadap seluruh manusia
pada umumnya.
Sartre memandang bahwa apa saja yang
dibuat manusia mempunyai tujuan dan arti tertentu. Manusia hidup dalam buatan
manusia sendiri. Manusia menjalankan eksistensi manusia dalam alam buatan
manusia sendiri. Manusia dapat menembus konstruksi dan mendobrak alam
konstruksi. Ia berpandangan bahwa dalam hidup ini tidak ada norma, semua serba tidak
menentu. Oleh karena itu, manusia mengalami kesepian yang dapat membawa kepada
keputusasaan.14
Sartre mengajarkan pula tentang
kesadaran. Sadar, berarti sadar terhadap sesuatu, sesuatu di luar dirinya. Di
sini berarti antara bahwa diri seseorang dengan sesuatu yang lain, ada hubungan
dan ada komunikasi. Pendapat Sartre lebih lanjut bahwa adanya hubungan dengan
sesuatu yang di luar, berarti meniadakan sesuatu. Maknanya, orang yang sadar
tidak identik dengan dirinya sendiri, dia bukanlah ia.
Dia yang sadar tentang dirinya selalu berbuat terus untuk mengubah
dirinya. Dia selalu dalam peralihan dan peniadaan itu berjalan terus-menerus.15
Ajaran sentral Sartre ialah kemerdekaan karena
kemerdekaan itu sendiri milik manusia yang azasi. Tanpa kemerdekaan, manusia
tidak ada artinya lagi. Hal itu menurut Sartre tidak ada determinasi. Sekalipun
orang dipaksa, didorong atau ditarik umpamanya, manusia tetap mempunyai sikap,
mau atau tidak mau, maka kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya tetap ada.
Manusia mempunyai kemerdekaan untuk
bertindak dan berbuat. Kemerdekaan adalah mutlak. Kemerdekaan tidak dapat
disempitkan maknanya bagi manusia, sekalipun maut merupakan batas dari kebebasan.
Menurut Sartre, batas itu di luar eksistensi manusia. Maut tidak mempunyai arti
apa-apa dalam hubungannya dengan eksistensi manusia.16
2.2 Pragmatisme
A. Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice).
Isme di sini yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme
itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Yaitu aliran
filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat – akibat atau
hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan
kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan
praktis dari pengetahuan kepada individu – individu.
B. Perkembangan Pragmatisme di Amerika
Pragmatisme di Amerika
secara garis besar berkembang melalui tiga tokoh besarnya yaitu :
1.
Charles Sandre Peirce (1839-1914 M)
Dalam konsepnya ia
menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang
praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme
sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika dan bukan teori kebenaran
melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah. Dari
kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa pragmatisme tidak
hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat
serta mencari kebenaran belaka juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan
hakekat dibalik realitas tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran
ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
2. William James (1842-1910 M)
William
selain menamakan filsafatnya dengan “pragmatisme”, ia juga menamainya
“empirisme radikal”. Sedangkan empirisme radikal adalah suatu aliran yang harus
tidak menerima suatu unsur alam bentuk apa pun yang tidak dialami secara
langsung. Dalam bukunya The Meaning of The Truth, James mengemukakan tidak ada
kebenaran mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri
dan terlepas dari segala akal yang mengenal, melainkan yang ada hanya
kebenaran-kebenaran ‘plural’. Yang dimaksud kebenaran-kebenaran plural adalah
apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah
oleh pengalaman berikutnya.
3.
John Dewey
(1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja terlepas
dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan
dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang pragmatis. Menurutnya, filsafat
bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur
kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis dan tidak ada faedahnya.
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis dan tidak ada faedahnya.
Secara teoretis,
gerakan pragmatisme berawal dari upaya formulasi yang dilakukan oleh Charles
Sanders Peirce meskipun kemudian pragmatisme dikembangkan oleh William James.
Secara metodologis, pragmatisme akhirnya berhasil diserap oleh bidang-bidang
kehidupan sehari-hari Amerika Serikat berkat kerja keras John Dewey. Dewey
memusatkan perhatiaanya pada masalah-masalah yang menyangkut etika, pemikiran
sosial dan pendidikan. Memang ada begitu banyak pandangan-pandangan para filsuf
yang berhubungan dengan bidang pragmatisme ini, akan tetapi ketiga tokoh di
atas yang populer dan banyak dibicarakan dalam pengembangan pragmatisme. Peirce
dipandang sebagai penggagas pragmatisme, James sebagai pengembangnya dan Dewey
sebagai orang yang menerapkan pragmatisme dalam pelbagai bidang kehidupan. [1]7
2.3 Progresivisme
A. Pengertian Progresivisme
Progresivisme menurut bahasa dapat
diartikan sebagai aliran yang menginginkan kemajuan – kemajuan secara cepat.
Dalam konteks filsafat pendidikan progresivisme adalah suatu aliran yang
menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan pengetahuan
kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah
pada pelatihan kemampuan berfikir mereka sedemikian rupa, sehingga mereka dapat
berfikir secara sistematis melalui care-care ihniah seperti memberikan
analisis, pertimbangan, dan perbuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif
yang paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi.18
Progresivisme yakin bahwa manusia
mempunyai kesanggupan-kesanggupan untuk mengendalikan hubungannya dengan alam,
sanggup meresapi rahasia – rahasia alam, sanggup menguasai alam. Namur
disamping keyakinan-keyakinan tersebut ada juga kesangian dimana apakah manusia
itu sendiri mampu belajar bagaimana mempergunakan kesanggupan itu, tetapi
meskipun demikian progresivisme tetap bersikap optimis, tetap percaya bahwa
manusia dapat menguasai seluruh lingkungannya, baik lingkungan alam maupun
lingkungan sosial.19
B. Perkembangan
Progresivisme
Aliran ini muncul dan
berkembang pada permulaan abad XX terutama di Amerika Serikat. Progresivisme
lahir sebagai pembaharuan dalam dunia filsafat pendidikan terutama sebagai
lawan terhadap kebijakan – kebijakan konvensional yang diwarisi dari abad XIX.
Disamping itu, ada pula
pengaruh kebudayaan yang secara khusus ditulis oleh Brameld sebagai faktor
kebudayaan yang berpengaruh atas perkembangan progresivisme, yaitu antara lain
:
1.
Revolusi industri
2.
Modern Science
3.
Perkembangan demokrasi
Aliran Progresivisme
biasanya dihubungkan dengan pandangan hidup yang mempunyai sifat – sifat
sebagai berikut :
“Fleksibel (tidak kaku,
tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), curious
(ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati
terbuka).20
Filsafat pendidikan Progresivisme dikembangkan oleh
para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan
Harold Rugg diawal abad 20. Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat
pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas,
belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan
juga pengalaman teman sebaya.21
C. Aliran Progresivisme
dan Kurikulum
Ada lima aspek
kurikulum dalam aliran Progresivisme, yaitu:
1. Reorganisasi di dalam suatu subyek khusus sebagai langkah pertama mencari
pola dan design yang baru.
2. Korelasi antara dua atau lebih subject-matter, misalnya antara bahasa
nasional dengan social-studies.
3. Pengelompokan dan hubungan integratif dalam satu bidang pengetahuan,
misalnya: “pendidikan umum” dalam ilmu pengetahuan alam dan arts.
4. “Core-curriculum” suatu kelompok mata pelajaran yang memberi pengalaman
dasar dan sebagai kebutuhan umum yang utama.
5. “Experience-centered curriculum” yakni kurikulum yang mengutamakan
pengalaman dengan menekankan pada unit – unit tertentu.22
2.4 Implikasi Masing – Masing Aliran Terhadap Pendidikan
A.
Aliran Eksistensialisme
(Relevansi dengan Tujuan Pendidikan di Indonesia )
Berbicara
tujuan pendidikan di Indonesia, maka tidak bisa lepas dari Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya
pada Bab II pasal 3 yang menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.23
Berdasarkan
tujuan pendidikan di Indonesia tersebut, maka relevansi ajaran pokok filsafat eksistensialisme
dengan tujuan pendidikan di Indonesia adalah terletak pada nilai dasar
eksistensialisme untuk membina kawasan afektif dengan unsur-unsurnya yang pada
gilirannya dapat mewujudkan perilaku, yang mencerminkan tergambarnya
kepribadian yang utuh. Hal itu dapat dijelaskan sebagai:
1)
Ajaran eksitensialisme tentang keber”ada”an manusia berarti
memandang manusia secara utuh, baik aspek jasmani maupun dataran rohani yang
bukan saja aspek pikir, tapi juga berkesadaran. Hal ini dapat sebagai jalan
untuk mengantarkan pemikiran dan praksis pendidikan untuk menuju terwujudnya
kepribadian yang utuh, yakni sebagai manusia yang tepat dalam menentukan minat,
sikap, dan apresiasi terhadap nilai-nilai, dan norma kehidupan.
2)
Ajaran eksistensialisme tentang makna bereksistensi bahwa
bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan
merencanakan. Hal ini dapat mendorong ke arah pemikiran dan praksis pendidikan
untuk mengantarkan anak didik memiliki sikap disiplin, bertanggung jawab, dan
beretos kerja. Pada gilirannya hal itu dapat untuk mewujudkan gambaran manusia
yang cerdas, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani,
serta memiliki kepribadian yang mantap.
3)
Ajaran filsafat eksistensialisme teistis tentang stadium
religius bahwa manusia sebagai subjek yang individual dalam hubungannya dengan
Tuhan. Hasilnya ialah perubahan manusia karena imannya. Hal ini dapat mendorong
ke arah pemikiran dan praksis pendidikan guna mengarahkan anak didik memiliki
sikap atau kepribadian amanah (dapat dipercaya), pegang janji, kearifan, dan
kemandirian. Pendidikan ini pada gilirannya dapat mewujudkan gambaran manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur dalam arti yang sebenarnya, maksudnya beriman dan berbudi pekerti luhur
yang dilandasi oleh keikhlasan bukan karena ada udang di balik batu.
Adapun
ajaran filsafat eksistensialisme ateistis dari tokoh Sartre mengenai azas
eksistensi tentang keterbukaan, kesadaran, dan kemerdekaan tak ada batas; tak
ada norma. Hal ini justru anarkhi dan oportunis karena bertentangan dengan
tujuan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, cukuplah di sini dikatakan
bahwa dari seorang filsuf atau dari ajaran filsafat, yang tidak bisa kita
setujui, dan kita bisa belajar banyak.
B.
Aliran Pragmatisme (Implikasi Pragmatisme
Jhon Dewey terhadap Pendidikan )
Dewey secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan
pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sistem pendidikan.
Jadi menurut Dewey pendidikan harus bersifat
partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada
keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif
menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan
hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru. Tanpa
mengetahui apakah yang diikutinya baik atau buruk. Dalam pendidikan
partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai tenaga fasilitator
sedangkan keaktivan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan partisipatif
dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada proses
pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan
kecerdasan emosional, keterampilan, kreatifitas. Dengan cara melibatkan siswa
secara langsung ke dalam proses belajar. Sehingga nantinya peserta didik dapat
secara mandiri mencari problem solving dari masalah yang ia hadapi.24
Dewey meyakini bahwa pusat dari kurikulum seharusnya mencakup pengalaman
peserta didik. Jika kurikulum menjadi tujuan pendidikan, itu berarti peserta
didik berhenti berpikir, berhenti merenungkan pengalamannya, dan pada akhirnya
kematian masyarakat itu sendiri. Pendidikan harus membawa konsep mengenai
perubahan dan perkembangan masyarakat. Kurikulum harus mengabdi kepada peserta
didik sehingga dengan bantuan kurikulum peserta didik dapat merealisasikan
dirinya, mewujudkan bakat-bakat, nilai, sikap untuk hidup dalam masyarakat.
Dengan kata lain, apa yang tersaji dalam kurikulum adalah interaksi antar
peserta didik serta interaksi guru dan murid. Bukan relasi menguasai ataupun
relasi subjek-objek di mana peserta didik adalah pihak yang harus menerima
tanpa bertanya. Interaksi ini bukan hanya persoalan interaksi fisik, tapi juga
bersifat sosiologis. Artinya, nilai, tujuan, sikap, makna telah termasuk di
dalamnya. Seringkali, hal-hal demikian disebut sebagai kurikulum tersembunyi.
Melalui penelitiannya terhadap pendidikan, Dewey melihat sekolah dan
kurikulumnya memisahkan aspek-aspek pengalaman peserta didik menjadi apa yang
disebutnya spesialisasi. Bagi Dewey, dengan pemisahan demikian peserta didik
seolah-olah dapat menjawab seluruh permasalahan. Dewey justru berpandangan
sebaliknya. Pemisahan ini akan membawa masalah serius di tataran praktis.
Pengalaman si peserta didik dikoyakkan dan diatur menurut sebuah prinsip
tertentu. Dewey menyebutkan 3 akibat dari hal ini. Pertama, dunia pribadi
peserta didik berhadapan dengan dunia impersonal yang sempit namun karena
ditata berdasarkan prinsip tertentu, peserta didik seolah berhadapan dengan
semua persoalannya. Kedua, keterpisahan integralitas hidup peserta didik dan
adanya spesialisasi dan pembagian dalam kurikulum. Ketiga, prinsip klasifikasi
yang logis berhadapan dengan ikatan yang utuh dari hidup peserta didik. Ketiga
hal ini mau mengatakan bahwa peserta didik dan kurikulum seperti dua aspek yang
sangat berbeda.
Tapi, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mengapa kurikulum tetap
diperlukan dalam pendidikan formal? Kurikulum tetap diperlukan lantaran
kurikulum adalah mediasi dalam pendidikan formal. Kurikulum bukanlah pengganti
pengalaman peserta didik. Kurikulum adalah sebuah peta yang mengarahkan peserta
didik mencari jati dirinya.25
C. Aliran Progresivisme ( Prinsip – prinsip pendidikan menurut aliran
Progresivisme )
Prinsip – prinsip pendidikan
yang didasarkan pada aliran progresivisme antara lain :
1) Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup. Kehidupan
yang baik adalah kehidupan yang intelegen yaitu kehidupan yang mencakup
interpretasi dan rekonstruksi pengalaman. Tidak ada tujuan pendidikan umum atau
akhir pendidikan. Pendidikan adalah pertumbuhan untuk menghasilkan pertumbuhan
berikutnya.
2) Pendidikan harus berhubungan secara langsung dengan minat anak yang
dijadikan sebagai dasar motivasi belajar, sekolah menjadi child centered
dimana proses belajar ditentukan terutama oleh anak.
3) Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi preseden pemberian subjek
materi. Jadi belajar harus dapat memecahkan masalah yang penting dan bermanfaat
bagi kehidupan anak.
4) Peranan guru tidak langsung, melainkan memberikan petunjuk kepada peserta
didik. Peserta didik hendaknya diberi kebebasan merencanakan perkembangan diri
mereka, dan pendidik hendaknya membimbing kegiatan mereka.
5) Sekolah harus memberikan semangat untuk bekerja sama, bukan mengembangkan
persaingan. Progresif berpandangan bahwa kasih sayang dan persaudaraan lebih
berharga bagi kehidupan dari pada persaingan dan usaha pribadi.
6) Kehidupan yang demokratis merupakan kondisi yang diperlukan bagi
pertumbuhan. Demokrasi, pertumbuhan, dan pendidikan saling berhubungan. Untuk
mengajar demokrasi, sekolah itu sendiri harus demokratis.26
Para pendidik aliran
ini sangat menentang praktik sekolah tradisional, khususnya dalam lima hal: 1.
guru yang otoriter, 2. terlampau mengandalkan metode berbasis buku teks, 3.
pembelajaran pasif dengan mengingat fakta, 4. filsafat empat tembok, yakni
terisolasinya pendidikan dari kehidupan nyata, dan 5. penggunaan rasa takut
atau hukuman badan sebagai alat untuk menanamkan disiplin pada siswa.27
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Filsafat eksistensialisme bersifat
individualistis sebagai paham yang mendorong manusia untuk berbuat dan berbuat
terus memperbarui dirinya dengan bertitik tolak dari individu masing-masing
apapun keadaannya.
Filsafat eksistensialisme memberikan
modal kekuatan dan keberanian dengan tidak perlu mencemaskan kelemahannya
sebagai manusia.
Mazhab filsafat eksistensialisme
teistis lebih berbobot daripada mazhab ateistis, karena mazhab teistis
mengandung pengertian adanya pengakuan di luar subjek yang dapat merupakan
penggerak dalam usaha manusia bereksistensi.
Terdapat relevansi atau signifikansi
antara ajaran filsafat eksistensialisme teistis dengan tujuanpendidikan di
Indonesia terlebih dalam mendorong terwujudnya tujuan pendidikan di ranah
afektif yang selama ini nampak terabaikan.
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan
bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar
dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara
praktis.
Pragmatisme di Amerika berkembang melalui tiga
tokohnya, yaitu Charles Sandre Peirce,
William James, John Dewey. Peirce dipandang sebagai penggagas
pragmatisme, James sebagai pengembangnya dan Dewey sebagai orang yang
menerapkan pragmatisme dalam pelbagai bidang kehidupan.
Dewey secara realistis mengkritik praktek pendidikan
yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa
dalam sestem pendidikan. Tak lepas dari kritikannya juga yakni sistem kurikulum
yang hanya ditentukan dari atas tanpa memperhatikan masukkan-masukkan dari
bawah.
Aliran Progresivisme adalah salah satu aliran dalam
filsafat pendidikan yang memandang bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
menghadapi dan memecahkan masalah. Pendidikan menurut aliran ini adalah
pendidikan yang membina dan mengembangkan minat belajar yang mencakup seluruh
pengalaman
sosial anak maupun orang dewasa. Aliran ini tidak
menghendaki pendidikan yang otoriter dan absolut dalam segala bentuk seperti
yang terdapat dalam agama, moral, dan ilmu pengetahuan.
3.2 SARAN
Makalah ini dibuat oleh penulis dengan
segala kemampuan dan keterbatasan, maka dari itu, penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan – kekurangan sehingga untuk mencapai kesempurnaan itu
diharapkan agar pembaca dapat memberi saran dan kritik untuk membangun dan
lebih sempurnanya makalah ini.
Dengan sepenuh hati, penulis memohon kepada Allah semoga makalah ini bisa bermanfaat buat sang pembaca serta penulis bahkan kepada khalayak umum.aamiin.
Dengan sepenuh hati, penulis memohon kepada Allah semoga makalah ini bisa bermanfaat buat sang pembaca serta penulis bahkan kepada khalayak umum.aamiin.
Akhirnya saya ucapkan terima kasih
banyak atas saran dan kritikannya, semoga makalah ini bisa bermanfaat. Aamiin
ya robbal ‘alamin.
EndNote
1Drijarkara, Percikan, Filsafat (Jakarta: Pembangunan, 1978),hal. 56.
2Ibid, hal.
60.
3Harun Hadiwijono, Sari Sejarah
Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal. 148.
4Ibid,hal. 148.
5Drijarkara, Percikan, hal.
62.
6Harun Hadiwijono, Sari Sejarah, hal. 149
7Poedjawijatna, Pembimbing, ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal.145.
8Drijarkara, Percikan, hal.
67.
9Bertens, K. Ringkasan, hal. 83.
10 Ibid,hal.
84.
11Drijarkara, Percikan, hal.
67.
12 Ibid,hal. 68
13Fuad Hasan, Perkenalan dengan Existensialisme(Jakarta: Pustaka Jaya, 1983),hal. 93.
14Drijarkara, Percikan, hal.
72.
15Ibid, hal.
78.
16Ibid, hal.
79.
17Fu’ad
farid isma’il & abdul hamid mutawalli, Cara Mudah Belajar FIlsafat, (Yogyakarta
: IRCiSoD, 2012), hlm 128.
18Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan Islam. (
Pekanbaru: LSFK2P.2005), hal. 161-162
19Zuhairi dkk. Filsafat Pendidikan Islam. ( Bumi
Aksara. Jakarta : 2008 ) hal.20-21
20Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam,
(Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hal. 46-47.
22 Mohammad Nor Syam, Filsafat
Kependidikan dan Dasar Filsfat Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1988), hal. 254
23Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2003), hal. 7.
24 Muis Sad Iman, M.Ag. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep
Fitrah dan Progresivisme John Dewey, (Yogyakarta: Safiria Insani
Press & MSI UII, 2004), hlm. 3
25 http://michelaurel.wordpress.com/2012/09/08/pendidikan-menurut-john-dewey/, di unduh pada 14 oktober 2013, pukul 13.08.
26Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam,
(Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hal. 48-50.
27Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan
Pendidikan, ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 105.
DAFTAR PUSTAKA
Drijarkara.
1978. Percikan Filsafat. Jakarta: Pembangunan.
Hadiwijono,
Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Yogyakarta: Kanisius.
Poedjawijatna,
1990. Pembimbing ke ArahAlam Filsafat.Jakarta: Rineka Cipta
Bertens K.
1993. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Hasan, Fuad.
1983. Perkenalan dengan Existensialisme.Jakarta: Pustaka Jaya.
Isma’il, Fu’ad farid
dan Abdul hamid mutawalli, 2012, Cara Mudah Belajar FIlsafat, Yogyakarta
: IRCiSoD
Alwasilah, Chaedar.
2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Khobir, Abdul. 2007. Filsafat
Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Syam, Mohammad Nor.
1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsfat Kependidikan Pancasila. Surabaya:
Usaha Nasional
Undang-Undang
Sisitem Pendidikan Nasional.2003.
Bandung: Citra Umbara.
Iman, Muis Sad, 2004, Pendidikan
Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey,
Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII
http://michelaurel.wordpress.com/2012/09/08/pendidikan-menurut-john-dewey/, di unduh pada 14 oktober 2013, pukul 13.08.
Komentar
Posting Komentar