KETIDAKADILAN HUKUM DI NEGARA HUKUM, INDONESIA
2016
KETIDAKADILAN HUKUM
DI NEGARA HUKUM, INDONESIA
Diajukan sebagai tugas mata
kuliah
Pengantar Ilmu Pemerintahan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................ 4
1.1
Latar Belakang................................................................................ 4
1.2
Rumusan Masalah........................................................................... 5
1.3
Tujuan............................................................................................. 5
BAB II
PEMBAHASAN.................................................................................. 6
2.1
Kajian
Materi.................................................................................. 6
1. Pengertian Indonesia Sebagai
Negara Hukum............................... 6
2. Arti
Tindak Pidana Jabatan............................................................ 8
3. Kondisi
Hukum dan Peradilan di Indonesia ................................. 8
2.2 Analisis
Masalah............................................................................ 10
1. Ketidakadilan Hukum di Indonesia............................................... 11
2. Kasus – kasus Ketidakadilan
Aparat Penegak Hukum................. 12
2.3
Solusi.............................................................................................. 16
BAB III
PENUTUP.......................................................................................... 18
3.1
KESIMPULAN.............................................................................. 18
3.2
SARAN.......................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 19
OUR IDENTITY................................................................................................ 20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Negara Indonesia adalah negara
hukum, hal tersebut sesuai dengan yang telah tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD
Negara RI 1945 perubahan ketiga. Maka sudah sewajarnya semua masyarakat yang
hidup di Indonesia tunduk dan patuh terhadap peraturan hukum yang ditetapkan.
Karena memang sifat dari hukum itu sendiri adalah sebuah peraturan yang memaksa
dan menyeluruh.
Idealnya, hukum di Indonesia
diciptakan untuk menjamin keadilan setiap masyarakat Indonesia itu sendiri.
Namun pada kenyataannya yang terjadi di lapangan justru banyak terjadi
ketidakadilan hukum. Sebagai contoh, dalam berbagai tayangan televisi dapat
kita lihat bahwa betapa tidak ada jaminan kepastian akan hukum dan keadilan
dalam berbagai ruang di Indonesia. Kasus-kasus kecil terkesan begitu mudahnya
diselesaikan, sementara orang-orang dengan kasus yang begitu besar tidak
terselesaikan, bahkan banyak dari mereka yang keburu meninggal sebelum kasusnya
tuntas. Indonesia membutuhkan keadilan untuk bisa menata kembali kehidupan
bernegaranya.
Negara ini membutuhkan pemimpin
dan penegak hukum yang tegas dan adil tanpa memihak kepada siapapun. Karena
sekarang ini sudah banyak perkara/kejadian para aparat hukum yang melanggar
hukum itu sendiri. Karena dengan adanya pemimpin dan penegak hukum yang tegas
dan adil, akan tercipta negara yang damai dan adil.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini, yaitu :
1.
Apakah pengertian Indonesia sebagai
negara hukum ?
2.
Bagaimana kondisi hukum dan
peradilan di Indonesia?
3.
Bagaimana tindakan yang seharusnya
dilakukan guna perbaikan hukum dan peradilan di Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Memberikan
pemahaman atau informasi kepada pembaca tentang hukum yang ada di Indonesia.
2. Untuk
menyadarkan pembaca tentang masih lemahnya hukum di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian
Teori
- Pengertian Indonesia sebagai Negara Hukum
Istilah
negara hukum secara terminologis merupakan terjemahan dari kata rechtsstaat
atau rule of law. Para ahli hukum di daratan Eropa Barat lazim
menggunakan istilah rechtsstaat, sementara tradisi Anglo–Saxon
menggunakan istilah rule of law. Di Indonesia, istilah rechtsstaat
dan rule of law biasa diterjemahkan dengan istilah “Negara Hukum”
(Winarno, 2007 dalam Triharso 2013).
Indonesia
merupakan negara hukum yang bersumber pada Pancasila dan bukan berdasar atas
kekuasaan. Sifat negara hukum hanya dapat ditunjukan jika alat-alat
perlengkapannya bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang
ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk
mengadakan aturan-aturan itu.
Ciri-ciri bagi suatu negara hukum, antara lain sebagai berikut.
1) Pengakuan
dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik,
hukum, sosial ekonomi, dan kebudayaan.
2) Peradilan
yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak
memihak.
3) Legalitas
dalam arti hukum dalam bentuknya. Pancasila sebagai dasar negara yang
mencerminkan jiwa bangsa Indonesia harus menjiwai semua peraturan hukum dan pelaksanaanya.
Ketentuan
ini menunjukan bahwa di negara Indonesia dijamin adanya perlindungan hak-hak
asasi manusia berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum dan bukan kemauan seseorang
yang menjadi dasar kekuasan. Adalah menjadi kewajiban bagi setiap penyelenggara
negara untuk menegakan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila yang
selanjutnya melakukan pedoman peratura-peraturan pelaksanaan. Di samping itu,
sifaat hukum berakar pada kepribadian bangsa dan bagi
Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan
pada Pancasila, hukum mempunyai sifat pengayoman agar cita-cita luhur bangsa
Indonesia tercapai dan terpelihara.
Konsepsi
negara hukum yang dulu dikesankan menganut rechtsstaat sekarang dinetralkan
menjadi negara hukum saja, tanpa label rechtsstaat diletakkan di dalam
kurung. Dengan demikian, politik hukum kita tentang konsepsi negara hukum
menganut unsur-unsur yang baik dari rechtsstaat dan the rule of law,
bahkan sistem hukum lain sekaligus. Dulu, konsep negara hukum ditegaskan di
dalam Penjelasan UUD dengan kalimat “Indonesia ialah negara yang berdasar atas
hukum (rechtsstaat)...,” namun sekarang Penjelasan UUD sudah tidak
berlaku dan pernyataan prinsip negara hukum itu penuangannya di dalam
konstitusi dipindahkan ke dalam Pasal 1 ayat 3 dengan kalimat yang netral,
yaitu “Negara Indonesia adalah negara hukum.” (Moh. Mahfud MD, 2010:52).
Penetralan
kalimat ini bukan tidak penting karena di dalamnya terkandung konsep prismatik
tentang negara hukum, yakni penggabungan unsur-unsur baik dari berbagai konsep
yang berbeda ke dalam satu konsep yang menyatu (integratif) yang
implementasinya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan. Dalam konteks ini,
misalnya, disebutkan bahwa konsep negara hukum Indonesia menerima prinsip rasa
keadilan di dalam the rule of law serta nilai spiritual dari hukum
agama. Hukum tertulis dan segala ketentuan proseduralnya (rechtsstaat)
diterima di dalam negara hukum Indonesia tetapi semua itu harus diletakkan
dalam rangka menegakkan keadilan (the rule of law); ketentuan-ketentuan
tertulis yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan. Penguatan dari kosep ini
adalah penyebutan di dalam fungsi kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum
dan keadilan seperti tertulis pada Pasal 24 ayat 1 serta penegasan di dalam
Pasal 28D ayat 1 tentang hak memperoleh kepastian hukum yang adil dan Pasal 28H
bahwa hukum harus dibangun berdasarkan keadilan dan kemanfaatan (Moh. Mahfud
MD, 2010:52)
2. Arti Tindak Pidana Jabatan
Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku, yang dimaksud dengan tindak
pidana jabatan atau ambtsdelcten ialah sejumlah tindakan pidana
tertentu, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat
sebagai pegawai negeri. Agar tindak pidana yang dilakukan oleh para pegawai
negeri itu dapat disebut tindak pidana jabatan, maka tindak pidana tersebut
harus dilakukan oleh para pegawai negeri yang bersangkutan dalam menjalankan
tugas jabatan mereka masing-masing. Pelanggaran jabatan telah diatur oleh
pembentuk undang-undang dalam Buku ke-III Bab ke-VIII KUHP. (P.A.F. Lamintang,
2009:1)
Kita
telah mengetahui sesuatu hal tentang hubungan fungsi negara dalam masyarakat.
Negara dalam masyarakat, menurut Herman Heller adalah sebagai suatu Teritoriale
Gezag Organisatie, yaitu suatu organisasi kewibawaan yang berada dalam suatu
wilayah tertentu. Gezag (kewibawaan) ialah kekuasaan yang telah diakui.
Max Weber, seorang sosiolog bangsa Jerman, mengatakan bahwa kewibawaan itu bisa
didasarkan atas kharismatik, tradisional, dan rasional (C. S. T. Kansil, 2011:372).
- Kondisi Hukum dan Peradilan di Indonesia
Di
era reformasi ini, kekuasaan kehakiman (lembaga yudikatif), yang sudah lebih
dimandirikan berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 1999, justru menjadi lebih korup
dibandingkan dengan lembaga eksekutif dan legislatif. Kebebasan lebih luas yang
oleh UU kepada para hakim untuk bebas melakukan korupsi peradilan dengan
berbagai variasinya (Moh. Mahfud MD, 2010:166).
Pada
akhir Juni 2006 yang lalu, hakim Herman Alositandi dijatuhi hukuman 4,5 tahun
penjara oleh pengadilan karena terbukti ia menyuruh seorang panitera untuk
memeras seorang saksi kasus Jamsostek dengan ancaman saksi tersebut akan
dijadikan tersangka. Pada pekan yang sama, mantan Hakim Tinggi, Harini Wijoso,
juga divonis 4 tahun penjara karena terbukti berusaha menyuap majelis Hakim
Agung (Moh. Mahfud MD, 2010:166).
Harini
Wijoso terbukti melakukan permufakatan jahat dengan melakukan percobaan suap
terhadap hakim agung di MA untuk memengaruhi putusan kasasi kasus Probosutedjo.
Harini dikenai Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah
dengan UU Nomor 20/2001 tentang Tipikor. Selain itu, Harini juga dijerat dengan
Pasal 15 dan 13 undang-undang tersebut karena telah berusaha memengaruhi para
penyelenggara negara dengan cara memberi hadiah kepada para pejabat atau penyelenggara
negara tersebut (Ramli dalam Deni Setyawati, 2008:75)
Tak
ada yang membantah tentang bobroknya dunia peradilan sekarang ini. Padahal
lembaga peradilan adalah harapan utama untuk tampil sebagai leading sector
dalam pemberantasan KKN, dengan logikanya: Indonesia hancur atau terperosok ke
dalam krisis karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga
peradilan juga korupsi. Dengan demikian, salah satu persoalan utama terletak di
korupnya dunia peradilan. Karena korupnya lembaga kekuasaan kehakiman, maka
lembaga-lembaga penegak hukum yang lain seperti kejaksaan, kepolisian, dan
pengacara juga menjadi semakin korup. Misalnya, banyak pengacara yang lebih
mengandalkan lobi dalam menangani kasus, bukan mengandalkan kelihaian dalam membangun
argumen yuridis untuk memenangkan perkara. Bahkan untuk kasus-kasus yang
melibatkan orang penting, tim pengacaranya dilengkapi juga dengan tim lobi yang
mencari peluang-peluang untuk memenangkan perkara secara manipulatif. Lebih
buruk lagi, ditengara bahwa sekarang ini saksi ahli pun bisa dipesan untuk
mengatakan hal tertentu dengan tarif imbalan tertentu pula (Moh. Mahfud MD,
2010:166).
Beberapa contoh di atas, yang
menunjukkan bahwa berbagai peraturan selalu bisa diakali, memperkuat pendapat
yang mengatakan bahwa korupsi di Indonesia adalah budaya. Namun, Sabastian
Pompe, penulis buku The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional
Collapse, mengatakan “nonsens” menyebut korupsi sebagai budaya
bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan dunia peradilan, menurut Pompe, judicial
corruption baru muncul setelah peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga
peradilan dibina dengan sistem (dan mulai dimasuki oleh) kepemimpinan militer.
Itu terjadi ketika Soeharto mulai melangkah unuk mengokohkan kekuasaannya
dengan mengkooptasi kekuasaan kehakiman. Sejak itu, kata Pompe, terjadilah
kebiasaan melayani (pemberian amplop atau upeti) di kalangan hakim (Sebastian
Pompe dalam Moh. Mahfud MD, 2010).
Pendapat Pompe itu sejalan dengan hasil studi
yang pernah penulis (Moh. Mahfud MD) lakukan yang menunjukkan bahwa dalam
periode tertentu sejarah Indonesia, tepatnya pada tahun 1950-an, ternyata hukum
dapat ditegakkan dengan baik melalui pimpinan yang tegas dan penuh integritas
dalam menegak kan hukum. Pada masa itu, tercatat nama harum Jaksa Agung,
Soeprapto, yang tegas mengajukan siapapun, termasuk menteri, ke pengadilan
karena tindak pelanggaran hukum. Selain itu, pada saat itu muncul hakim-hakim
yang jujur dan berani menghukum pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana.
Dengan
demikian, pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa tidak dapat diterima
atas dasar dua hal. Pertama, pandangan itu bertentangan dengan fakta sejarah.
Kedua, mempercayai pandangan itu berarti percaya pula bahwa apa pun yang akan
mengalami kegagalan mengingat budaya itu sangat sulit untuk diubah.
Walaupun banyak di antara warga masyarakat
yang memiliki kreativitas tinggi untuk selalu mengorupsi dan memanipulasi
peraturan-peraturan yang dibuat, hal itu bukan berarti bahwa korupsi sudah
benar-benar menjadi budaya. Sejarah membuktikan bahwa korupsi bisa diatasi
manakala tampil pemimpin yang mempunyai ketegasan untuk menegakkan hukum tanpa
pandang bulu (Moh. Mahfud MD, 2010:170).
2.2 Analisis Masalah
Dari
tahun 1945 sampai dengan tahun 2001 belum ada yang berani menyatakan dengan
sungguh-sugguh bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara
Hukum. Baru kemudian pada tahun 2001, saat amandemen III UUD 1945 disahkan
dengan menambahkan satu ayat yang berisi “Indonesia adalah negara hukum”.
Dengan dinyatakannya dalam UUD Negara RI 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, maka dengan ini dapat kita pahami bahwa segala
tingkah laku manusia baik melakukan perbuatan hukum atau tidak melakukan perbuatan harus menuruti
peraturan yang berlaku.
Jadi dengan diundangkan dan diberlakukannya
peraturan atau undang-undang, maka dengan ini semua orang dianggap sudah
mengetahui tentang undang-undang atau peraturan tersebut. Namun sebenarnya
patokan tersebut bukanlah hal yang benar, karena pada kenyataannya masih banyak
orang yang masih belum paham akan hukum di Indonesia, terutama orang yang
tinggal di daerah-daerah pedalaman.
Suatu
negara hukum di manapun, memiliki tujuan pokok yang sama, yaitu melindungi hak
asasi manusia dan menciptakan kehidupan bagi warga yang demokratis. Keberadaan
suatu negara hukum menjadi prasyarat bagi terselenggaranya hak asasi manusia
dan kehidupan demokratis. Dasar filosofi perlunya perlindungan hukum terhadap
hak asasi manusia adalah bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar kodrati
setiap orang yang keberadaannya sejak berada dalam kandungan, dan ada sebagai
pemberian Tuhan, oleh sebab itu negara wajib melindunginya. Perlindungan hak
asasi manusia di Indonesia sendiri secara yuridis didasarkan pada UUD Negara RI
1945.
- Ketidakadilan Hukum di Indonesia
Beberapa
tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah saja. Hukum seakan-akan
bukan lagi dasar bagi bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia seolah tak lagi takut
pada hukum yang berlaku di negara ini. Kebanyakan orang akan bicara bahwa hukum
di Indonesia itu dapat “dibeli”. Mereka yang mempunyai kekuasaan, mereka yang
menang. Mereka yang punya uang banyak, pasti aman dari gangguan hukum walaupun
aturan negara dilanggar. Ada pengakuan informal di masyarakat bahwa karena
hukum dapat dibeli, maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk
melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil. Praktik penyelewengan
dalam proses penegakan hukum, seperti mafia hukum dan peradilan, peradilan yang
diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang mudah
ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini.
Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum
di negeri ini persis seperti yang dideskripsikan Plato, bahwa hukum adalah
jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika
menjerat yang kaya dan kuat. Kualitas sebagai negara hukum di Indonesia tidak
lepas dari lemahnya etika para profesional hukum. Menggejalanya perbuatan
profesional yang mengabaikan kode etik profesi karena beberapa alasan yang
paling mendasar, baik sebagai individu anggota masyarakat, maupun karena
hubungan kerja dalam organisasi profesi.
- Kasus – kasus Ketidakadilan Aparat Penegak Hukum
Aparat penegak hukum sepertinya sudah
benar-benar tak peduli lagi dengan keadilan warga negara. Mereka hanya bisa
garang saat berhadapan dengan orang kecil, tetapi seketika nyali menciut saat
berurusan dengan para penguasa. Segala macam kritik masyarakat hanya masuk
telinga kanan, lalu keluar dari telinga kiri. Semakin kentara jika
membandingkan penanganan kasus kecelakaan maut anak Menko Perekonomian Hatta
Rajasa, Rasyid Rajasa dengan kasus loncatnya mahasiswi Universitas Indonesia
Annisa Azward dari angkot. Memang dalam kasus ini Annisa adalah korban, dan
sopir angkot, Jamal bin Samsuri yang terjadi hari Rabu tanggal 6 Februari 2013 memang
harus diperiksa.
Tetapi yang mengherankan adalah soal
penahanan. Sejak kejadian, Jamal langsung ditahan di Unit Lantas Daan Mogot,
Jakarta Barat. Hasil pemeriksaan belum ditemukan adanya unsur kriminalitas,
seperti percobaan perampokan, pemerkosaan, dan penculikan. Dugaan sementara
mahasiswi semester empat itu nekat loncat karena ketakutan.
Jika memang dalam perjalanan ditemukan unsur
pidana, tentu Jamal harus dihukum dengan ketentuan yang berlaku. Kini polisi
sudah menetapkan Jamal sebagai tersangka, dengan dijerat Pasal 283 dan Pasal
310 ayat 3 UU Lalu Lintas, yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang dan diancam
hukuman 5 tahun penjara. Selain itu, Jamal juga bisa dijerat dengan UU Lalu
Lintas karena membawa angkot di luar trayek.
Jika menengok kasus Jamal tentu tak seberat
dengan Rasyid. Putra bungsu Hatta Rajasa itu pada 1 Januari 2013 silam,
mengemudikan mobil BMW dengan kecepatan tinggi lalu menabrak mobil Luxio di Tol
Jagorawi. Dalam kecelakaan tersebut dua orang meninggal. Memang Rasyid sudah
menjadi tersangka, tapi diistimewakan. Rasyid dijerat pasal 283, 287, dan 310
UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009, dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.
Setelah kejadian, polisi tidak menahan Rasyid
dengan alasan trauma, dan pihak keluarga memberi jaminan Rasyid akan
kooperatif. Ternyata Rasyid kembali mendapat perlakuan khusus. Saat pelimpahan
berkas tahap kedua dari Polda Metro Jaya ke Kejaksaan Negeri Jakarta Timur,
Rasyid tidak ditahan.
Kasus yang dialami sopir angkot lebih ringan
jika dibandingkan dengan kasus anak Hatta yang menelan korban jiwa. Seharusnya,
jika Jamal yang belum terbukti melakukan pidana ditahan, Rasyid juga mendapat
perlakukan yang sama.
Kasus lain adalah mengenai bebasnya
Gayus Tambunan, terdakwa kasus penggelapan pajak, kasus Nazarudin, Tersangka
kasus korupsi wisma atlet ASEAN Games ini menghabiskan 6 triliun rupiah kas
negara, namun belum diproses secara formal hingga kini. Dilanjutkan pada kasus
yang tak kalah ironis bagaimana seorang tersangka Tipikor yang merugikan negara
Rp 40,75 miliar bernama Syaukani yang merupakan mantan Bupati Kutai,
Kartanegara, mendapat grasi dari Presiden SBY dan atas petimbangan MA masa
tahanannya dikurangi 3 tahun karena yang bersangkutan menderita sakit parah dan
berakibat pada bebasnya sang koruptor. Patrialis Akbar yang saat itu menjabat
sebagai Menkumham memberikan penjelasan bahwa dasar dari pemberian grasi
tersebut adalah alasan kemanusiaan. Namun Ketika ditanya soal grasi yang
diberikan MA terlalu besar, Patrialis tidak mau berkomentar banyak, beliau
hanya menyatakan itu merupakan keputusan MA dan pemerintah hanya
menjalankannya.
Kemudian kasus penabrakan pejalan kaki di
trotoar oleh pengemudi mobil Daihatsu Xenia bernama Aftriani Susanti. Setelah diselidiki,
penyebab penabrakan tersebut diketahui bahwa sang pengemudi berada dalam
pengaruh alkohol dan sabu-sabu. Namun, yang menakjubkan ialah ia hanya
dikenakan vonis 6 tahun penjara, padahal kesalahannya berlipat ganda, yaitu
membunuh orang, merusak trotoar, mengonsumsi sabu-sabu, dan mengemudi dalam
pengaruh alkohol.
Sebuah fenomena menarik dapat kita simpulkan
dari vonis masa tahanan yang diberikan pada kasus-kasus diatas. Kesalahan
mereka sangat berat dan merugikan banyak orang. Namun, ketika uang disodorkan
pada penegak hukum, segala perkara dapat selesai dengan mudah, semua dapat
diperingan. Bayangkan dengan kondisi kronis yang dialami rakyat kecil.
Sebagai contoh, seorang pencuri buah kakao di
perkebunan swasta, ia hanya mengambil buah-buah yang jatuh dari pohon, kemudian
hendak dijualnya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun, pemilik kebun
tidak terima dan melaporkan kejadian itu ke polisi. Pencuri buah kakao ini pun
divonis 1,5 bulan penjara, padahal pencuri ini adalah seorang nenek berusia
senja, memang apapun namanya mencuri adalah kesalahan dan tidak dapat
dibenarkan. Namun demikian jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip
kemanusiaan. Apa mungkin seorang nenek berusia lanjut dan buta huruf dihukum
hanya karena ketidaktahuan dan keawamannya tentang hukum.
Ketidakadilan hukum Indonesia niscaya telah
memperburuk citra diri bangsa yang memang sudah rusak, sekaligus menjajah
bangsa sendiri. Kita seharusnya merasa malu dengan moral bangsa ini yang begitu
naif. Ada pertanyaan besar yang timbul dari serangkaian kasus di negeri ini,
apakah hukum di Indonesia bisa dibeli dengan uang? Jika bisa, konglomerat tidak
perlu takut melanggar hukum karena mereka dapat bernegoisasi di belakang
pengadilan agar mendapatkan keringanan hukum. Yang menjadi masalah adalah
rakyat kecil yang semakin tidak terlindungi dan semakin tertindas.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa bangsa ini
sudah dibilang merdeka dan mandiri sedangkan hukumnya saja di kontrol dengan
uang? Indonesia bahkan belum dapat di bilang sepenuhnya merdeka karena bangsa
ini masih terbelenggu oleh ketidakadilan pemerintahannya sendiri. Hukum dan
keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat,
biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di
negeri ini, law enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain
dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri
semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin
banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula
bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini
semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja
secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang
menawarnya. Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak
akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin.
Supremasi hukum di Indonesia masih harus
direformasi untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional
terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum
yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya
setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Namun keadaan yang terjadi di Indonesia adalah hal yang sebaliknya. Bagi
masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun
bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya
menjerat mereka dengan tuntutan hukum.
Tetapi
peraturan sudah diundangkan, UUD Negara RI 1945 sudah diamandemen dan yang
paling penting segala ketetapan atau ketentuan tersebut sudah diberlakukan.
Jadi marilah kita sama-sama belajar tentang hukum yang berlaku di Indonesia
ini. Hukum yang diakui oleh negara ini. Yang tujuan sebenarnya adalah tidak
lain semata-mata untuk kebaikan bangsa ini sendiri.
2.3 Solusi
Dari beberapa kasus-kasus yang ada, dengan
demikian, belajar dari fakta sejarah, ketegasan dalam penegakan hukum merupakan
kunci penting untuk mengatasi berbagai problem. Selama ini, sudah sangat banyak
UU dibuat untuk mengatur langkah mencapai tujuan reformasi, tetapi belum banyak
pemimpin yang tegas dan berani menegakkan hukum. Namun, selain perlunya mencar
“penegak hukum” yang tegas dan berani, ada beberapa langkah yang perlu
dilakukan secara serius dan stimulan. Pertama, melakukan reformasi birokrasi
agar ia segera bersih dari sistem, prosedur, dan pejabat-pejabat yang korup.
Keyakinan bahwa salah satu kunci penting keberhasilan reformasi adalah
reformasi birokrasi belum diwujudkan dalam langkah nyata dan tegas.
Kedua, secepatnya memutus hubungan dengan
persoalan-persoalan KKN yang diwariskan oleh Orde Baru agar kita keluar dari
blokade yang mengepung dari berbagai lini.pemutusan hubungan ini bisa dilakukan
dengan cara radikan (amputasi tanpa pandang bulu) dan bisa juga dilakukan
dengan cara kompromi (ampuni dan rekonsiliasi dengan permakluman) yang kemudian
ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan tegas.
Ketiga, membangun sistem rekrutmen politik
yang demokratis dan terbuka melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka.
Pemilu dengan sistem proporsional terbuka dapat menyeimbangkan peran parpol
untuk menyeleksi kader-kadernya dan peran rakyat pemilih untuk menentukan
sendiri wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif. Pemilu dengan sistem
proporsional terbuka juga lebih sesuai dengan realitas bangsa Indonesia yang
majemuk. Menyangkut lembaga eksekutif, sistem pemilihan Presiden secara
langsung harus disertai dengan instrumen atau subsistem rekrutmen pejabat yang
mendorong Presiden membentuk zaken kabinet (kabinet ahli, bersih, dan
profesional) dengan membebaskannya dari belenggu transaksi politik kompensasi
dan dukungan. Untuk itu, diperlukan penataan sistem kepartaian perlu dilakukan
untuk membuat jalan parpol tidak terlalu banyak (Moh. Mahfud MD, 2010).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Indonesia adalah negara hukum yang sudah disahkan
dalam UUD Negara RI 1945 dan semua warga negaranya sama di mata hukum. Tetapi
pada kenyataannya hukum di Indonesia belum sepenuhnya adil dan untuk mencari
keadilan di Indonesia itu tidak mudah. Hal tersebut terjadi karena terdapat
beberapa aparat hukum yang seharusnya patuh dan menegakan hukum, tetapi justru
aparat hukum itu melanggar hukum.
Dari beberapa kasus yang terjadi di Indonesia
dapat disimpulkan bahwa di Indonesia terjadi ketidakadilan hukum antara pihak
yang lemah dengan pihak yang kuat. Hal ini terjadi karena kurang tegasnya
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, sehingga menyebabkan semakin lama
kejahatan semakin meningkat dan pihak yang lemah selalu di rugikan.
Ketidakadilan hukum Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa yang
memang sudah rusak, sekaligus menjajah bangsa sendiri. Jika ini terus
berlanjut, tidak mengherankan bila dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan
semakin terpuruk.
Hukum merupakan aspek terpenting dalam suatu
negara, apabila hukum negara saja bisa dipermainkan dengan uang, bisa
dibayangkan bagaimana keadaan Indonesia di masa yang akan datang. Ini menjadi
tugas para generasi penerus bangsa untuk segera memperbaiki Indonesia agar
tidak lagi menjadi negara yang naïf.
3.2 Saran
Seluruh warga negara Indonesia harus
menjunjung tinggi dan patuh terhadap hukum agar tercipta keadilan, kedamaian,
dan kemakmuran. Keadilan dalam hal apapun, akan membuahkan kedamaian dan
kesejahteraan. Inilah inti kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Kansil, C.
S. T. 2011. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Lamintang,
P.A.F. 2009. Delik-delik Khusus: Kejahatn Jabatan & Kejahatan Jabatan
Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Mahfud MD,
Moh. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Setyawati,
Deni. 2008. KPK Pemburu Koruptor: Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
Memperangus Korupsi. Yogyakarta: Pustaka Timur.
Triharso,
Ajar. 2013. Buku Modul Kuliah Kewarganegaraan. Surabaya: Universitas Airlangga.
OUR IDENTITY
M. YUDA TIRTA
3506160152
ARTI SASTIA MAJITA DANVI
DWI PRANATA FITRI HANDAYANI
3506160075 3506160135 3506160186
HERDINA DANI
S
NELY ERLINA SARI OKTAVIAN AGUS S
3506160030 3506160242 3506160274
SANDY MULYANA
3506160153
Komentar
Posting Komentar